DPD Terjepit: Taruhan Keadilan Antarwilayah

Oleh: Prof. Dr. Mustari Mustafa
Anggota K3-MPR RI
Sering kali ketika berbicara tentang perbaikan sistem ketatanegaraan,
orang langsung berpikir bahwa jalan satu-satunya adalah mengubah Undang-Undang
Dasar melalui amandemen. Padahal, konstitusi itu ibarat rumah besar yang tidak
harus selalu dibongkar temboknya setiap kali kita menemukan celah atau
kekurangannya.
Ada cara lain yang lebih halus namun tidak kalah kuat, misalnya dengan
membangun kebiasaan bersama antarlembaga negara yang lama-lama diterima sebagai
tata cara yang wajar, atau melalui putusan hakim konstitusi yang memberi tafsir
baru terhadap makna pasal-pasal tertentu, atau juga lewat pengujian
undang-undang agar selaras dengan semangat konstitusi. Jalur ini sesungguhnya
justru lebih sejalan dengan budaya musyawarah bangsa kita, yang mencari
keseimbangan tanpa harus merombak fondasi.
Dalam konteks itu, perhatian terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
menjadi sangat penting. Selama ini, keberadaan DPD sering dipandang sebelah
mata. Ia ada, tetapi tidak sungguh diberi ruang untuk memainkan peran yang
lebih kuat. Bukan semata-mata karena tidak ada dasar hukumnya, melainkan karena
ada tarik-menarik kepentingan di tingkat politik. Partai-partai dan DPR tentu
memiliki kuasa legislasi yang besar, sehingga kehadiran DPD sering dianggap
sebagai tambahan yang bisa dipinggirkan. Padahal, jika kita jujur melihat, DPD
hadir bukan untuk melawan, tetapi untuk melengkapi: Ia membawa suara daerah,
mewakili keadilan antarwilayah, dan mengingatkan bahwa pembangunan nasional
tidak boleh hanya berpusat di satu titik.
Kelemahan posisi DPD hari ini tidak bisa dilepaskan juga dari kebiasaan
lama yang sudah terlanjur mengakar. Sejak awal, undang-undang yang lahir
setelah amandemen konstitusi memang tidak memberi kewenangan penuh kepada DPD.
Akibatnya, rutinitas kerja yang ada cenderung mengulang pola lama: DPD ikut
serta, tetapi tidak benar-benar menentukan. Ditambah lagi, DPD belum cukup kuat
membangun narasi yang menyentuh hati publik: bahwa penguatan DPD bukan
semata-mata soal memperbesar kewenangan lembaga, melainkan tentang keadilan
bagi semua daerah di negeri ini. Tanpa narasi itu, masyarakat mudah menganggap
perjuangan DPD hanya sebagai kepentingan institusional belaka.
Karena itu, yang dibutuhkan DPD sekarang adalah manuver yang cerdas dan
terukur. Tidak cukup hanya menunggu perubahan Undang-undang Dasar, sebab jalan
itu panjang dan penuh hambatan. DPD bisa mulai membangun kebiasaan baru yang
membuat kehadirannya sulit diabaikan, misalnya dengan memastikan setiap
rancangan undang-undang yang menyangkut daerah benar-benar melalui meja dan
masukan DPD sejak awal. Kalau ini dilakukan secara konsisten, lama-lama akan
terbentuk kebiasaan bersama bahwa tanpa DPD, pembahasan belum lengkap. Selain
itu, DPD juga bisa menggunakan jalur hukum dengan menggugat aturan-aturan yang
merugikan perannya, agar Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali pentingnya
suara daerah dalam setiap keputusan nasional.
Namun, langkah-langkah itu tidak akan kuat jika DPD bergerak sendiri.
Ia perlu merangkul pemerintah daerah, para gubernur, bupati, wali kota, bahkan
para tokoh partai politik yang peduli pada keadilan antarwilayah. Dengan
koalisi semacam ini, DPD bisa menghadirkan wajah yang lebih segar: bukan
lembaga yang menuntut hak semata, tetapi rumah bersama bagi suara daerah yang
ingin dilibatkan secara adil. Di sisi lain, DPD juga harus menunjukkan dirinya
sebagai pusat pengetahuan tentang kondisi nyata di daerah. Ia bisa menyusun
laporan, indeks, atau evaluasi berkala tentang ketimpangan antarwilayah,
sehingga setiap orang melihat bahwa penguatan DPD sesungguhnya adalah kebutuhan
bangsa, bukan sekadar ambisi politik.
Pada akhirnya, soal penguatan DPD ini tidak boleh dibaca hanya sebagai
soal prosedur atau kekuasaan, tetapi sebagai soal keadilan. Negara yang besar
dan majemuk seperti Indonesia hanya akan kuat jika setiap daerah merasa
mendapat tempat yang setara. Musyawarah kita sebagai bangsa juga hanya akan
lengkap jika suara daerah ikut didengar.
Dengan demikian, memperkuat DPD adalah memperkuat rasa kebersamaan kita sendiri. Dan untuk menuju ke sana, tidak selalu harus dengan membongkar konstitusi. Kita bisa menempuh jalan yang lebih tenang, melalui kebiasaan, penafsiran, koalisi, dan pengetahuan yang terus dibangun. Dengan cara itu, DPD akan semakin berwibawa, dan pada waktunya nanti, perubahan besar dalam teks undang-undang dasar akan hadir sebagai konsekuensi alami dari praktik yang sudah mapan. (*)