Warning Anggota K3 MPR: Korupsi Khianati Konstitusi, Tata Kelola Negara Amburadul

Warning Anggota K3 MPR: Korupsi Khianati Konstitusi, Tata Kelola Negara Amburadul

Prof. Mustari Mustafa

JAKARTA, GOWAMEDIA.COM — Kritik keras terhadap kondisi tata kelola negara kembali mengemuka dalam pertemuan Kelompok Kerja Kajian Konstitusi (K3) MPR RI yang digelar 2-4 Juli 2025 di Jakarta. Guru Besar Filsafat UIN Alauddin Makassar, Prof. Mustari Mustafa, menyampaikan pandangan tegas bahwa korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan, keadilan sosial, dan konstitusi bangsa.

Dalam kajian yang menjadi bahan pertimbangan mendesak bagi pimpinan MPR RI tersebut, Mustari menilai delapan dekade kemerdekaan Indonesia seharusnya menjadi momentum refleksi moral dan arah baru untuk membangun negara yang bersih, berintegritas, serta bebas dari korupsi yang telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Korupsi itu bukan sekadar kejahatan ekonomi, ini adalah pengkhianatan terhadap seluruh nilai kemerdekaan yang sudah diperjuangkan dengan darah, jiwa, dan air mata. Setiap tindakan korupsi berarti mengkhianati konstitusi kita sendiri,” tegas Mustari kepada media, Kamis (4/7/2025).

Pernyataan Mustari tak bisa dilepaskan dari dinamika terbaru di tingkat nasional, khususnya terkait sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang belakangan ini memicu kontroversi luas di masyarakat. 

Walaupun tidak merinci isi putusan, ia mengingatkan bahwa keputusan-keputusan lembaga hukum tertinggi yang tidak sejalan dengan semangat keadilan adalah sinyal kuat makin rusaknya tata kelola negara.


“Etika kebangsaan kita mengalami kemunduran yang sangat akut. Kita sedang menyaksikan krisis multidimensi, dan keputusan-keputusan hukum yang mencederai rasa keadilan rakyat hanya memperdalam krisis itu,” ujarnya.

Mustari menegaskan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya soal operasi hukum, tetapi soal komitmen moral, konsistensi konstitusi, dan kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa. Menurutnya, TAP MPR XI/MPR/1998, TAP VIII/MPR/2001, dan TAP VI/MPR/2001 adalah fondasi moral sekaligus landasan konstitusional dalam melawan korupsi yang harus ditegakkan kembali, bukan sekadar menjadi dokumen yang dilupakan.

“Semua TAP MPR yang sudah menegaskan pemberantasan korupsi harus dihidupkan lagi, bukan jadi arsip sejarah yang dilupakan. Kenyataannya, implementasi TAP itu belum berjalan signifikan. Kalau dibiarkan, arah bangsa ini makin tidak jelas,” kata Mustari.

Ia juga menilai, korupsi bukan sekadar urusan uang negara yang hilang, tapi kejahatan sistemik yang menghancurkan masa depan bangsa. Korupsi, lanjutnya, telah membunuh semangat inovasi, merusak karakter generasi muda, serta mengikis kepercayaan rakyat terhadap negara.

“Jangan kita kira korupsi itu cuma soal uang. Korupsi itu membunuh imajinasi anak-anak muda kita, mematikan harapan mereka. Kalau ini dibiarkan, jangan heran nanti kita punya generasi tanpa integritas,” tegas Mustari.

Ia pun menyerukan perlunya gerakan kolektif antikorupsi yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, penegak hukum, dunia pendidikan, hingga keluarga. Menurutnya, budaya antikorupsi harus dimulai sejak dini, bukan hanya lewat pendidikan formal, tetapi juga dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Lebih jauh, Mustari mengingatkan bahwa penegakan hukum harus berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. Aturan-aturan yang membuka celah korupsi harus dicabut, dan transparansi serta akuntabilitas pejabat publik harus menjadi standar wajib.

“Setiap pejabat publik harus berani diaudit, berani transparan soal harta dan kinerjanya. Kalau tidak, jangan salahkan rakyat kalau kepercayaan makin hilang,” ujarnya.

Mustari juga menyoroti lemahnya partisipasi publik dalam pengawasan penyelenggaraan negara. Menurutnya, rakyat harus dilibatkan secara aman dan produktif dalam melaporkan praktik KKN tanpa rasa takut, agar kontrol sosial terhadap elite dan birokrasi berjalan efektif.

Situasi ini, tambah Mustari, makin parah dengan berbagai putusan hukum yang memperlihatkan kecenderungan berpihak pada kepentingan segelintir elite. Kondisi tersebut, menurutnya, menjadi indikator semakin kacaunya tata kelola negara.

“Putusan-putusan yang kontroversial, yang bertolak belakang dengan aspirasi rakyat, adalah sinyal kuat tata kelola negara kita makin amburadul. Ini harus dilawan, bukan dinormalisasi,” tegas Mustari.

Ia menutup pernyataannya dengan refleksi tajam bahwa bangsa yang membiarkan korupsi tumbuh tanpa perlawanan serius sedang menggali kubur untuk masa depannya sendiri. Oleh karena itu, seluruh pihak harus bersatu, menghidupkan kembali landasan moral dan konstitusional bangsa, serta menjadikan pemberantasan korupsi sebagai gerakan bersama yang berkelanjutan.

“Korupsi adalah pengkhianatan terhadap bangsa. Kalau kita terus kompromi dengan kejahatan ini, jangan berharap Indonesia akan punya masa depan yang cerah,” pungkasnya.(*)