Menghidupkan Literasi Dari Tikar Dan Buku

Menghidupkan Literasi dari Tikar dan Buku

MAKASSAR, GOWAMEDIA.COM - Di tengah sorotan senja yang jatuh di Taman Pelataran Phinisi Universitas Negeri Makassar (UNM), dua komunitas literasi—Teras Diskusi dan Jejak Langkah Kecil (JEJAKI)—menggelar sebuah perhelatan sederhana namun sarat makna. Jumat sore (8/8/2025) itu, tikar digelar, buku-buku ditata, dan ruang percakapan dibuka lebar untuk siapa saja yang ingin singgah, membaca, berdiskusi, atau sekadar berbagi ulasan buku yang pernah mereka tamatkan.

Suasana santai di taman kampus seakan meruntuhkan dinding formalitas. Mahasiswa, dosen, pegiat literasi, hingga pengunjung yang kebetulan lewat, leluasa duduk bersisian, bertukar pikiran, dan saling memperkaya wawasan. Tidak ada podium, tidak ada sekat; yang ada hanya semangat belajar yang mengalir bebas, sebagaimana udara sore yang menyejukkan.

Menurut Nibe, perwakilan dari JEJAKI, kolaborasi ini lahir dari kesadaran akan krisis literasi yang kian nyata. “Kami hadir di lingkungan yang kering terhadap literasi. Harapannya, kolaborasi ini tidak berhenti pada satu pertemuan saja, tetapi terus berlanjut hingga memberikan dampak yang lebih luas dan besar,” ujarnya. Pernyataan ini sederhana, namun mengandung tekad yang tajam: menyalakan api literasi dari sumbu-sumbu kecil yang masih tersisa.

Urgensi kegiatan seperti ini tidak bisa diremehkan. Di tengah arus informasi instan, minat membaca buku—apalagi berdiskusi secara mendalam—sering tersisih oleh godaan layar gawai. Padahal, literasi bukan sekadar keterampilan teknis membaca dan menulis, melainkan fondasi untuk menumbuhkan nalar kritis, memperluas imajinasi, dan membentuk masyarakat yang tangguh terhadap arus provokasi.

Lapak baca dan diskusi terbuka ini menjadi semacam perlawanan sunyi terhadap apatisme budaya baca. Di sini, pendidikan dimaknai sebagai proses membebaskan—bukan hanya dari belenggu sistem yang kaku, tetapi juga dari ketakutan untuk berpikir berbeda, bertanya, dan berpendapat. Dari tikar sederhana, buku-buku yang terlipat rapi, dan suara-suara yang saling menyimak, terselip pesan: perubahan bisa dimulai dari tempat sekecil ini.

Kerja-kerja literasi seperti ini layak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat, kampus, hingga pemerintah daerah. Sebab, dari titik-titik pertemuan kecil inilah, optimisme akan masa depan literasi dapat tumbuh kembali. Dan siapa tahu, kelak api yang menyala di taman ini akan menjalar, menghangatkan ruang-ruang lain yang kini masih dingin terhadap literasi.(*)