MUI Sulsel Minta Dunia Bangun Etika Global; Refleksi Diskusi Publik MUI Sulsel “Iran Vs Israel, Akankah Perang Dunia Ketiga?”

BAHAS PERANG. Kolase tangkapan layar para narasumber melalui zoom pada diskusi publik bertajuk “Iran vs Israel: Akankah Perang Dunia Ketiga?” yang digelar Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Komisi Hubungan Luar Negeri MUI Sulsel, Seni
MAKASSAR, GOWAMEDIA.COM - Perang Iran dan Israel makin bikin dunia tegang. Isu ini yang jadi topik utama dalam diskusi publik bertajuk “Iran vs Israel: Akankah Perang Dunia Ketiga?” yang digelar Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Komisi Hubungan Luar Negeri MUI Sulsel, Senin, 23 Juni 2025.
Acara ini dilangsungkan secara daring lewat Zoom, YouTube MUI Sulsel, dan livestreaming Tribun Timur. Tercatat, lebih dari 500 peserta ikut bergabung, dengan 235 orang terdaftar lewat Zoom, sisanya mantau dari berbagai platform daring lainnya. Ini adalah panggung gagasan dan keprihatinan global.
Acara ini dibuka oleh AGH. Nadjamuddin Abd. Safa, Ketua Umum MUI Sulsel, dengan satu kalimat yang menjadi fondasi diskusi: “Jika perang adalah kecelakaan sejarah, maka berpikir adalah remnya.” Kalimat itu seakan menjadi nada dasar dari seluruh pemaparan yang menyusul.
Empat Suara, Empat Sudut Pandang
Empat narasumber hadir memberi sudut pandang tajam soal konflik yang terus memanas ini. Tamsil Linrung, Wakil Ketua DPD RI, membuka pembahasan dengan penegasan bahwa konflik Iran-Israel bukan semata konflik regional, tetapi merupakan krisis kemanusiaan global yang dapat berdampak pada krisis energi dan ekonomi dunia.
Ia mengajak masyarakat internasional untuk mewaspadai potensi eskalasi konflik yang luas. “Dampaknya bisa sistemik: energi, ekonomi, bahkan keseimbangan dunia. Dunia tidak siap menghadapi perang besar lagi,” ucapnya. Nada suaranya tenang, namun peringatan yang disampaikannya tidak main-main.
Suara dari Iran langsung disampaikan oleh Dr. Reza Ebrahimi, Konsuler Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Jakarta. Ia mengungkapkan kebingungan pihak Iran atas sikap Amerika Serikat yang di satu sisi mengajak berunding, namun di sisi lain melakukan tekanan dan agresi.
“Iran diminta berdialog, tetapi juga diserang secara fisik.” Dunia bicara damai, tetapi diam saat agresi terjadi. Ungkapannya bukan hanya kritik, tetapi cermin dari kekecewaan terhadap standar ganda diplomasi global.
Sementara itu, Hasibullah Sastrawi, Pengamat Timur Tengah yang dikenal tajam, memetakan konflik secara sistemik. Ia menyebut strategi “dua lengan” yang dimainkan Israel dan Amerika Serikat, yaitu satu sisi militer dan sisi lain diplomatik.
“Yang terjadi di Timur Tengah bukan hanya konflik, tapi rekonfigurasi peta ideologi dan pengaruh. Iran, Turki, Israel, Saudi—semuanya sedang menegosiasikan ulang peran dan posisi.” Ia menilai konflik ini semakin kompleks karena melibatkan multi-dimensi dan multi-kepentingan.
Analisis berbeda datang dari Mustari Mustafa, Ketua Harian Bidang HLNKI MUI Sulsel. Ia membedah konflik ini lewat perspektif psikoanalisis Sigmund Freud.
Namun kejutan datang dari narasumber terakhir, Prof Mustari Mustafa, yang juga Ketua Harian Bidang HLNKI MUI Sulsel. Ia tidak membawa peta geopolitik, melainkan peta kejiwaan manusia. Dengan mengutip Sigmund Freud.
Ia menjelaskan bahwa perilaku agresif dalam konflik ini mencerminkan dominasi “Id” atas Ego dan Superego. “Perang adalah ekspresi dari naluri pemangsa dalam diri manusia, dan hanya bisa dikendalikan jika ada kesadaran global kolektif,” jelas Ketua Harian Masjid AlMarkaz AlIslami ini.
Teori Freud lebih jauh dijelaskan Mustari bahwa perang adalah manifestasi dari Id — bagian liar dalam diri manusia. “Konflik ini mencerminkan dominasi naluri agresif atas rasionalitas. Jika kita tak mampu membangun kesadaran global, maka Id kolektif manusia akan terus menjatuhkan peradaban kita ke jurang kehancuran.”
Lebih jauh, Mustari memandang konflik panjang Iran dan Israel dipenuhi kecurigaan, permusuhan ideologis, dan hasrat mempertahankan pengaruh di Timur Tengah. Dalam perspektif Freud, konflik ini dipicu oleh insting dominan manusia (id) yang mendorong ego kolektif bangsa untuk mempertahankan eksistensi negara dan ideologi masing-masing, seperti teokrasi Syiah Iran vs demokrasi Zionis Israel.
Selain itu, ada persaingan pengaruh geopolitik dan militer, contohnya dukungan Iran kepada Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Gaza sebagai perpanjangan konfliknya dengan Israel. Semua itu dibalut perilaku superior dan egois, atau dalam istilah Freud, bentuk hasrat merasa lebih benar, lebih unggul, dan lebih sah.
Diskusi yang dipandu Dr H. Norman Said, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri MUI Sulsel ini ditutup dengan pidato penuh perenungan dari AGH. Muammar Bakry, Sekretaris Umum MUI Sulsel.
Ia tidak berbicara sebagai diplomat atau analis politik, tapi sebagai penjaga nurani umat. “Dunia tak butuh lebih banyak senjata. Dunia butuh kesadaran. Kesadaran bahwa anak-anak di Gaza, Teheran, dan Tel Aviv sama-sama ingin hidup damai.”
MUI Sulsel, melalui forum ini, mungkin tidak menghentikan konflik. Tapi mereka telah menyalakan obor—sebuah lentera pemikiran, yang setidaknya menyinari jalan mereka yang masih percaya bahwa akal sehat dan hati nurani adalah benteng terakhir melawan kegilaan perang.
Para narasumber sepakat bahwa perang dan agresivitas harus dilihat sebagai musuh utama peradaban humanistik. Oleh karena itu, perlu upaya bersama membangun etika global yang menolak perang sebagai solusi, dan mendorong diplomasi serta kemanusiaan sebagai jalan damai.(*)